Friday, January 19, 2018

Kenangan Sampur Merah

Kenangan Sampur Merah

Nama saya Ayu, saya kelas 3 SMA. Kehidupanku terbilang mewah, menjadi anak tunggal dari keluarga yang terpandang membuat saya menjadi hidup bergelimangan harta. Meskipun ayah jarang pulang, tetapi saya bahagia karena ibu selalu hadir di kala suka maupun duka. Hari-hari kuiisi dengan kegiatan berlatih menari. Cerita ini bermula sewaktu saya mengikuti perlombaan tari adat Kalimantan tingkat daerah, hasilnya sungguh memuaskan, saya berhasil mendapatkan juara utama di perlombaan tersebut. Berbagai macam perlombaan tarian adat Kalimantan telah aku ikuti, puncaknya adalah pada suatu perlombaan di tingkat provinsi, saya menampilkan tarian khas Kalimantan yaitu Kancet Ledo, diakhir pertunjukkan para penonton bergemuruh, suara tepukan tangan menghiasi panggung besar dimana aku berdiri. Juri begitu kagum dengan kemampuanku.

“Tarian Kalimantan yang kau tunjukkan sangat anggun. Unsur wiraga, wirasa, dan wirama begitu menonjol dan semuanya bercampur padu. Indonesia itu memiliki ragam budaya yang banyak, alangkah lebih baiknya kau mempelajari tarian lain. Jangan terlalu fokus pada satu daerah saja.” Ucap salah seorang juri. Aku merespon perkataan tersebut dengan mengangguk seraya mengerti apa yang dikatakan juri tersebut.

Satu-persatu peserta menampilkan tariannya, hingga tiba di puncak acara. Hasil segera dibacakan. Pembawa acara menyebut namaku dengan keras dan lantang. Aku bahagia dapat menjuarai lomba tarian tingkat yang besar ini. Rasanya aku begitu mahir dalam tarian khas Kalimantan ini. Saran dari juri sewaktu pertunjukkan tadi aku abaikan, anggap saja seperti angin yang lewat, toh dengan kemenangan yang kuperoleh, aku pasti bisa mengalahkan pesaing-pesaing lain dengan tarian khas dari Kalimantan.

Detik waktu silih berganti. Siang ini langit nampak meredup dengan goresan-goresan hitam menutup pancaran sinar matahari. Sudah satu minggu berlangsung sejak aku meraih keberhasilan sebagai pemenang utama dalam lomba menari. Sorakan penonton dan pujian dari orang-orang masih terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku merasa bahwa akan tiba waktunya bagiku untuk menjadi penari terbaik di Indonesia.

Tok.. tok.. tokk, ketukkan suara pintu memecah keheningan. Aku segera beranjak dari tempat tidurku, membuka pintu perlahan-lahan. Ternyata ibu sudah berdiri tegak dihadapanku.
“Ayu, ada undangan dari pihak daerah untuk mengikuti perlombaan tarian tingkat nasional. Apakah kamu mau ikut?” Tanya ibu.
“Wah, benarkah. Terimakasih ibu. Aku pasti mau ikut. Aku sudah tidak sabar untuk pergi kesana.”
“Baguslah. Perhelatannya bertempat di Cirebon. Persiapkan semuanya. Ayah dan ibu akan menemanimu.”
“Tumben ayah dan ibu ikut?”
“Sekali-kali ayah dan ibu ingin melihat langsung proses kemahiran kamu seperti apa. Refreshing juga kan, ibu bosan dirumah terus. Dan juga ada hal yang ibu bicarakan disana.”
“Hal apa bu?”
“Itu rahasia. Nanti ibu jelaskan disana saja.” Ucap ibu dengan senyum manisnya sembari melangkahkan kakinya pergi dari kamarku. Perkataan ibu merasuk dalam pikiranku, aku menjadi semakin penasaran, tetapi aku dengan segera menghiraukan perkataan ibu. Mungkin alasan pergi ke Cirebon hanya sekedar jalan-jalan saja.

Satu minggu telah berlalu. Hal yang disampaikan oleh ibu ternyata benar. Pagi-pagi sekali kami pergi mengudara menuju Cirebon. Pesawat lepas landas dari Balikpapan menuju Cirebon, perjalanan yang cukup melelahkan. Setelah empat jam lamanya berada di dalam pesawat, akhirnya tepat pada pukul sembilan aku sudah berada di Cirebon ditemani oleh ayah dan ibu. Langit terhampar luas diangkasa, tidak ada awan sama sekali terasa sangat indah dan cerah. Serpuan angin pantai utara jawa begitu terasa membekas sampai di pusat kota Cirebon.

Sejenak aku beristirahat menikmati pemandangan dari atas hotel. Kemacetan dimana-mana, orang-orang berjalan tak beraturan menghiasi kota Cirebon. Terpikirkan olehku bahwa pasti di Cirebon tidak mempunyai hasil tarian kebudayaan. Orang-orangnya saja seperti itu, kampungan. Mana mungkin ada penari di daerah bising seperti ini yang bisa menandingiku. Hari demi hari kulalui dengan berlatih didampingi oleh pelatih pribadi serta dilihat oleh ayah dan ibu. Sekilas aku melihat dengan seksama ayah dan ibu sedang membicarakan sesuatu. Aku sempat tertarik namun hatiku berkata bahwa aku harus fokus latihan agar mendapatkan hasil yang maksimal dan menjadi juara lagi.
Hari yang ditunggu kini telah tiba. Panggung begitu besar nan megah, puluhan kontestan dari tiap-tiap provinsi memenuhi ruang belakang panggung. Tak sengaja aku berpapasan dengan seorang perempuan yang nampaknya mirip denganku. Baik wajah, mata, tinggi, dan pipi seolah menyerupaiku. Rambutnya yang lurus panjang seolah menjadi pembeda antara dia denganku. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, namun segera kuhentikan niatku begitu tau bahwa perempuan itu ternyata mewakili daerah Cirebon. Aku tidak ingin berkenalan dengan daerah yang kebudayaannya rendah. Aku kembali fokus pada lomba.

Satu-persatu kontestan menampilkan tarian dari daerahnya masing-masing. Sekian lama menunggu, akhirnya namaku disebut juga. Tiba bagiku untuk mempertunjukkan tarian yang sudah kupersiapkan sejak jauh-jauh hari yaitu tari leleng. Kulangkahkan kaki menuju panggung utama. Penonton membanjiri panggung tersebut. Ayah dan ibu menyemangatiku. Begitu musik langsung diputar aku menggerak-gerakkan tubuhku mengikuti alunan musik yang sedang dilantunkan. Penonton nampak senang dengan penampilanku. Gemuruh tepuk tangan mengiringi tarianku. Saat tarian sudah selesai penonton menunjukkan rasa senang, dua orang dari empat juri memberikan pujian.

“Kamu begitu menghayati ceritanya. Latar mengenai seorang gadis yang dinikahi secara paksa oleh kedua orangtuanya begitu melekat disetiap gerakanmu. Sungguh sangat luar biasa. Semoga kau mendapatkan hasil yang terbaik.” Ucap dari seorang juri wanita yang terkenal sebagai pencipta lagu-lagu lama. Aku pun mengangguk dan aku merasa bahwa aku pasti akan menjadi juara utama lagi. Memangnya siapa yang bisa mengalahkanku.

Kontestan selanjutnya kemudian tampil. Tak kusangka kontestan tersebut berasal dari Cirebon. Ia nampak mempertunjukkan tarian topeng. Suara tepuk tangan begitu terdengar keras sekali, menyaingi penampilanku. Meskipun begitu aku tenang, tidak akan ada yang bisa mengalahkanku. Lebih baik aku istirahat daripada harus mendengarkan dan melihat tarian jelek tersebut.

Satu jam pun berlalu. Semua kontestan sudah menampilkan tariannya. Pembawa acara mengumumkan hasilnya. Bagaikan petir di siang bolong begitu mendengar aku juara kedua. Belum sempat kekecewaanku reda pembawa acara melanjutkan kembali hasilnya. “Juara pertama adalah....Dewi dari Cirebon.” Ucap pembawa acara.

Sungguh terkejut aku mendengarnya. Aku sangat tidak percaya. Aku dikalahkan oleh daerah yang kuanggap rendah dan tidak mempunyai kebudayaan sama sekali. Aku yang seorang dari keluarga kaya, terpandang, dan merupakan orang asli Kalimantan terkalahkan dengan orang biasa yang hidup di desa. Sangat menyedihkan rasanya, aku hanya bisa meraih juara kedua. Seusai lomba tersebut, aku meratapi kegagalan yang kuperoleh di balik panggung. Perempuan yang berasal dari Cirebon mendekatiku.
“Penampilanmu sangat bagus. Aku sungguh terkesan. Perkenalkan namaku Dewi.” Ucap perempuan tersebut dengan suara lembutnya. Suasana hatiku saat itu sedang buruk, aku menduga bahwa perempuan yang bernama Dewi ini pasti akan mempermalukanku.
“Ada apa kau kesini! Kau mau sombong. Dengarkan aku, tarianku lebih bagus dibandingkan punyamu. Tanah kelahiranku juga lebih indah dibandingkan dengan daerahmu.”
“Tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku justru ingin kita agar saling berbagi pengetahuan tentang tarian daerah kita.”
“Tidak sudi aku berkenalan denganmu. Lebih baik aku dilatih oleh tim yang professional dibanding harus denganmu.” Kata-kataku menghujam deras tubuh Dewi. Dewi nampak diam sejenak, ia lalu meninggalkanku. Disaat yang sama ibu datang menghampiriku.
“Ayu, tidak boleh begitu. Ia hanya berniat baik.”
“Maafkan aku ibu. Situasi dan kondisiku sekarang sedang tidak enak. Aku merasa menjadi orang gagal disini.”
“Mau gagal ataupun tidak kau tetap ibu sayangi. Ayo ikut ibu.”
“Terimakasih bu. Kemana?”
“Sudahlah ikut saja.” Ucap ibu dengan senyum lembut menyelimuti wajahnya. Ibu lalu membawaku ke sebuah desa yang jauh dari perkotaan. Desa yang masih asli. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang disini. Tiba di suatu rumah sederhana, aku dikejutkan dengan kehadiran Dewi yang nampaknya inilah rumahnya. Aku dan ibu dipersilahkan untuk duduk.
Seorang nenek tua yang sudah beruban mendekatiku. “Cu..cu..ku.” Ucap nenek tua tersebut. Nenek tersebut kini duduk disamping ibu. Sedangkan di samping nenek ada Dewi.
“Waktunya kau menceritakan semuanya Hana.”
“Baiklah. Ayu anakku. Maafkan ibu, tapi ibu harus menyampaikan ini semua padamu. Sebenarnya kamu bukanlah anak kandung ibu. Kau bukanlah keturunan Kalimantan asli.”
“Apa?!.” Pernyataan ibu sungguh menusuk hatiku. Aku harus segera mencari ibu kandungku yang asli. “Kalau ibu bukan ibu kandungku lalu siapakah sebenarnya ibu kandungku yang asli?!”
“Ibumu sudah meninggal Ayu.”
“Kenapa nenek bisa tau?”
“Karena kau adalah cucuku. Aku akan menceritakan dengan singkat. Dulu sekali ibumu meninggal dalam kondisi melahirkan. Tepatnya saat melahirkanmu. Ibumu lebih memilih untuk menyelamatkan putrinya daripada hidupnya sendiri. Saat itu ibumu melahirkan anak yang kembar. Saat dalam keadaan yang genting tersebut ibumu lalu menitip pesan pada Hana yaitu pada ibumu saat ini untuk menjaga anak-anaknya. Namun aku tidak mau cucuku diambil semua oleh Hana, akhirnya aku merawat salah seorang dari kembaranmu. Lalu aku menamainya Dewi.
“Ja..di Dewi adalah...??”
“Dewi adalah adikmu.” Ucap Nenek yang membuatku diam seribu bahasa. Tak kusangka orang yang menjadi pesaingku adalah adikku sendiri. Aku merasa bersalah karena sudah mencaci daerah sendiri.
“Ada kenang-kenangan sebelum ibu kalian wafat.” Nenek kemudian mengambil wadah kecil, kemudian membukanya. Wadah tersebut berisikan sampur dengan jenis yang sama namun warna yang berbeda. “Ini adalah peninggalan bekas dari ibu kalian nari dahulu. Ibu kalian menyuruhku untuk memberikannya jika kalian sudah menjadi penari yang hebat. Sekarang sudah waktunya untuk memberikan pada kalian.”
Kuambil sampur merah yang memiliki banyak kenangan ibu itu dari nenek. Sedangkan Dewi mengambil sampul biru muda.
“Dewi adikku, maafkan kakakmu ini. Kaka sangat menyesal telah bersikap kasar terhadapmu.”
“Tidak apa-apa kaka. Nanti mari kita berlatih bersama.”

Kini aku dengan adikku menjadi salah satu grup penari yang terbaik. Kenangan Sampur Merah yang diberikan oleh ibu kandungku melekat erat disetiap penampilanku. Kenangan sampur merah membawakanku menjadi pribadi yang lebih anggun dan indah. Kenangan yang didalamnya berisi jerih keringat ibu dalam menapaki jejak-jejak berbagai macam perlombaan. Kenangan sampur merah yang akan selalu mengakrabkanku dengan adikku.

 PENULIS : DD

0 comments:

Post a Comment